Suprapto Estede

Suprapto Estede

Friday, November 22, 2013

Pendidikan Pancasila dan Pembangunan Karakter Bangsa

Oleh: Suprapto Estede

I. PENDAHULUAN

PEMBANGUNAN karakter bangsa selalu menjadi “sesuatu” yang sangat urgen sejak dahulu. Bung Karno pernah berpesan kepada kita bangsa Indonesia, bahwa tugas berat untuk mengisi kemerdekaan adalah membangun karakter bangsa. Apabila pembangunan karakter bangsa ini tidak berhasil, maka bangsa Indonesia akan menjadi bangsa kuli (H.Soemarno Soedarsono, 2009: sampul). Pernyataan Bung Karno ini menunjukkan pentingnya pendidikan dan pembangunan karakter demi tegak dan kokohnya jati diri bangsa.

Karakter dan jati diri bangsa Indonesia sebenarnya lahir dan terbentuk melalui proses sejarah yang cukup panjang, sejak zaman neolitikum, zaman Hindu Budha, era perkembangan kerajaan-kerajaan Islam, sampai kemudian datangnya bangsa asing yang menguasai masyarakat/bangsa di wilayah Kepulauan Nusantara ini. Pada periode-periode itu, beratus-ratus tahun lamanya, masyarakat telah membangun kehidupan atas dasar spiritualisme, kegotongroyongan, musyawarah untuk mufakat, toleransi, saling menghargai dan tolong menolong antarsesama, ditambah etos juang yang tinggi melalui berbagai perlawanan untuk menemukan jati dirinya sebagai bangsa, dan ini terus berlanjut pada masa pergerakan nasional. Masyarakat ini terus berjuang untuk mewujudkan sebagai bangsa merdeka, mandiri atas dasar prinsip yang tersimpul dalam padangan dan falsafah hidup bangsa. Setelah melalui proses panjang itu maka sampailah kepada saat yang berbahagia untuk menemukan jati diri sebagai bangsa setelah terjadinya Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, dengan berbagai nilai dan ciri khas, sifat dan karakter bangsa yang berbeda dengan bangsa lain. Oleh para pendiri negara, nilai, ciri khas dan karakter itu dirumuskan secara simpel dalam lima prinsip yang disebut Pancasila. Pancasila inilah yang menjadi karakter dan kepribadiannya bangsa Indonesia.


Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dewasa ini yang kebetulan berada di era global, bangsa Indonesia harus memiliki visi prospektif dan pandangan hidup yang kuat agar tidak didekte, dan diombang-ambingkan oleh kekuatan asing. Visi pembangunan jangka panjang tahun 2005-2025: “Indonesia yang maju, mandiri, adil dan makmur,” memerlukan landasan yang kokoh, dan suasana yang kondusif. Namun kondisi yang kondusif dan landasan yang kokoh itu kalau dikaitkan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di lingkungan sebagian masyarakat terutama kaum remajanya, masih mengkhawatirkan. Kita menghadapi kondisi kehidupan dan masalah sosio kebangsaan yang meprihatinkan.

Kehidupan bangsa Indonesia dewasa ini ternyata belum seperti yang dicita-citakan. Peristiwa politik tahun 1998 yang telah mengakhiri kekuasaan Orde Baru dengan berbagai euforianya ternyata masih menyisakan luka mendalam di berbagai aspek kehidupan. Berbagai bentuk pelanggaran masih terus terjadi. Tindakan kekerasan dan pelanggaran HAM, perilaku amoral dan runtuhnya budi pekerti luhur, semau gue dan tidak disiplin, anarkhisme dan ketidaksabaran, korupsi, ketidakjujuran dan budaya nerabas, rentannya kemandirian dan jati diri bangsa, terus menghiasai kehidupan bangsa kita. (Sardiman AM, 2010: 148). Semangat kebangsaan kita turun tajam dan di mata masyarakat internasional seperti kita telah kehilangan karakter yang selama beratus-ratus tahun bahkan berabad-abad kita bangun. Pancasila yang merupakan dasar negara dan pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara menjadi tidak aplikatif. Nilai-nilai Pancasila yang merupakan kepribadian bangsa Indonesia menjadi terabaikan. (Sardiman AM, Makna Lambang Garuda Pancasila Dan Pembentukan Karakter Bangsa).

Presiden SBY dalam kunjungannya ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, saat memberikan arahan dalam Sidang Kabinet Terbatas tanggal 31 Agustus 2012 yang membahas Program Strategis Pemerintah di bidang Pendidikan berharap perlu ada kontribusi yang dapat disumbangkan oleh sektor pendidikan untuk memperkuat toleransi, baik nilai sikap mental dan perilaku bagi bangsa yang majemuk untuk lebih baik lagi. Sikap toleransi harus dibangun, diajarkan, dan diperkuat kepada anak didik hingga tingkat wajib belajar 9 atau 12 tahun, sehingga diharapkan dapat membuahkan sesuatu yang baik. Wajib belajar 9 tahun dapat dikatakan sebagai formative years, yaitu waktu untuk membentuk karakter, nilai, sikap, dan perilaku bagi perjalan kehidupan manusia. Jika pemerintah dapat mengajarkan sikap toleransi dengan metodologi yang tepat, maka hal ini akan melekat lama.

Tidak hanya dalam kesempatan di Sidang Kabinet, dalam beberapa acara antara lain National Summit dan Peringatan Hari Ibu, Presiden SBY menekankan pentingnya nation character building. Kutipan pernyataan Presiden SBY adalah sebagai berikut: “Dalam era globalisasi, demokrasi, dan modernisasi dewasa ini, watak bangsa yang unggul dan mulia adalah menjadi kewajiban kita semua untuk membangun dan mengembangkannya. Character building penting, sama dengan national development yang harus terus menerus dilakukan. Marilah kita berjiwa terang, berpikir positif, dan bersikap optimistis. Dengan sikap seperti itu, seberat apapun persoalan yang dihadapi bangsa kita, insya Allah akan selalu ada jalan, dan kita akan bisa terus meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia”

Poin dari pernyataan di atas adalah pendidikan karakter mempunyai fungsi strategis bagi kemajuan bangsa, harus ada komitmen untuk menjalankan pendidikan karakter sebagai bagian dari jati diri bangsa. Komitmen yang harus kita jalankan semua, mengacu kepada 5 nilai karakter bangsa untuk menjadi manusia unggul yang disampaikan oleh Presiden SBY yaitu :
1. Manusia Indonesia yang bermoral, berakhlak dan berperilaku baik;
2. Mencapai masyarakat yang cerdas dan rasional;
3. Manusia Indonesia ke depan menjadi manusia yang inovatif dan terus mengejar kemajuan;
4. Memperkuat semangat “Harus Bisa”, yang terus mencari solusi dalam setiap kesulitan;
5. Manusia Indonesia haruslah menjadi patriot sejati yang mencintai bangsa, Negara dan tanah airnya.
(Puncak Peringatan Hari Pendidikan Nasional dan Hari Kebangkitan Nasional 2011, Jumat, 20 Mei 2011)

Pendidikan bukan hanya membangun kecerdasan dan transfer of knowledge, tetapi juga harus mampu membangun karakter atau character building dan perilaku. Dengan hakekat pendidikan dan dibangun metodologi yang tepat, maka diharapkan dapat dibangun intellectual curiosity dan membangun common sense. Tidak bisa ditunda lagi, generasi penerus bangsa harus serius untuk dibekali pendidikan karakter agar dapat memenuhi 5 nilai manusia unggul di atas. (Dewangga, 2012).

II. PENDIDIKAN PANCASILA

PENDIDIKAN DAN INTERNALISASI PANCASILA


Essensi dari pendidikan sebenarnya adalah pengalihan (transmisi) kebudayaan (nilai-nilai) dari generasi yang lebih tua kepada generasi selanjutnya dalam setiap masyarakat atau bangsa. Masalah pendidikan yang paling mendasar adalah bagaimana memanusiakan manusia (humanisasi) melalui pendidikan. Masalah pendidikan bukan hanya sekedar memberdayakan pikiran dan pencapaian prestasi belajar, melainkan berkaitan erat dengan nurani dan moral spiritual serta pembentukan karakter.

Sigmund Freud berpendapat bahwa “Karakter yang berkualitas harus dibentuk sejak usia dini, kegagalan dalam penanaman kepribadian yang baik di usia dini akan membentuk pribadi-pribadi yang bermasalah kelak di masa dewasanya”. Dengan demikian meningkatnya tindak kekerasan, suburnya permusuhan baik secara individu maupun kolektif, meningkatnya perilaku merusak diri (narkoba, seks bebas, alkohol), tingginya perilaku korup, semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, perilaku tidak jujur yang telah begitu membudaya, dan lain sebagainya adalah konsekwensi dan potret kegagalan pendidikan dalam membentuk pribadi-pribadi yang baik.
Pendidikan dan pengembangan pribadi pada psikologi humanistik yang sebatas dimensi eksoteris pada tataran kognitif semata, sementara penekanannya pada dimensi esoteris pada tataran affektif begitu lemah, akan mengakibatkan suatu bangsa kaya akan orang pintar, namun miskin akan orang yang bermoral, yang mampu menjadi tauladan.

Pancasila adalah nilai-nilai luhur yang diwariskan para pendiri (founding fathers) bangsa, bagi anak-anak bangsa pada generasi selanjutnya. Pancasila merupakan falsafah (pandangan hidup) yang seyogyanya mampu membentuk masyarakat bangsa yang bermartabat; bangsa yang ber-Ketuhanan YME, ber-kemanusiaan yang adil dan beradab, menjunjung tinggi kebersamaan dalam bingkai persatuan, mengutamakan musyawarah untuk mufakat, serta mengedepankan keadilan bagi seluruh warga bangsanya. (Sudarsa, 2012).

Pancasila harus dijiwai oleh seluruh individu warga negara Indonesia, karena Pancasila adalah cermin jatidiri bangsa Indonesia. ketika Pancasila hilang dari jiwa-jiwa anak bangsanya, maka bangsa Indonesia telah kehilangan jatidirinya. Dengan demikian, Pancasila harus dipatrikan dalam setiap jiwa anak bangsa, dan satu-satunya proses pematrian (internalisasi) Pancasila tersebut hanyalah melalui proses pendidikan.

PANCASILA SEBAGAI FALSAFAH HIDUP BANGSA

Falsafah (pandangan) hidup adalah pengetahuan umum yang khusus dijadikan suatu prinsip yang dianggap benar; suatu bentuk atau wujud filsafat hidup yang berfungsi sebagai titik tolak langsung perilaku sehari-hari.
Setiap bangsa yang ingin berdiri kokoh dan mengetahui dengan jelas ke arah mana tujuan yang ingin dicapainya sangat memerlukan pandangan hidup (filsafat hidup). Dengan pandangan hidup suatu bangsa akan memandang persoalan-persoalan yang dihadapinya dan menentukan arah serta cara bagaimana memecahkan persoalan-persoalan tadi. Dengan pandangan hidup yang jelas sesuatu bangsa akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana ia memecahkan masalah-masalah polotik, ekonomi, sosial dan budaya yang timbul dalam gerak masyarakat yang makin maju. Dengan berpedoman pada pandangan hidup itu pula suatu bangsa akan membangun dirinya.

Para pendiri republik ini telah merumuskan secara jelas dan tuntas apa sesungguhnya pandangan hidup bangsa kita, yakni Pancasila. Pancasila adalah jiwa seluruh rakyat Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan dasar negara. Disamping itu, Pancasila sekaligus adalah tujuan hidup bangsa Indonesia. Pancasila merupakan pandangan hidup, kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat/berakar di dalam kebudayaan bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa, dalam implementasinya sejak Indonesia merdeka tahun 1945, mengalami pasang surut, ujian, dinamika kehidupan kebangsaan yang sangat beragam. Di awal kemerdekaan dihadapkan dengan tantangan bahaya separatisme, faham aliran/ golongan ideologi yang berbeda, bahkan diakhir pemerintahan Soekarno mendapat tantangan dan perlawanan dari ideologi Marxisme-komunisme (PKI) yang berhasil digagalkan. Hingga akhirnya melahirkan rezim orde baru.

Di era orde baru, tidak bisa dipungkiri, Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa telah disalahartikan dan dijadikan alat politik untuk melanggengkan kekuasaan semata. Pancasila dijadikan senjata untuk menekan dinamika demokrasi yang berkembang saat itu. Pancasila dijadikan alat penyeragaman atas aspirasi politik publik dengan mengatasnamakan kepentingan, “Pembangunan dan stabilitas nasional” seolah-olah Pancasila hanya milik penguasa saat itu, siapa yang menetang dianggap anti Pancasila.
Akibatnya, Indonesia pasca reformasi tahun 1998, eksistensi Pancasila di awal reformasi menjadi semakin terpinggirkan dalam dinamika kehidupan berbangsa kita. Pasca reformasi 1998, Pancasila tidak lagi dipandang sebagai sesuatu yang essensial dalam memandu arah pembangunan bangsa. Perbincangan tentang Pancasila nyaris tidak terdengar dan seolah raib dalam ranah kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Keberadaan Pancasila mengalami delegitimasi yang luar biasa sejak era reformasi bergulir.

Akhir-akhir ini, kita seolah merasakan kebahagiaan tersendiri. Betapa sayup-sayup perbincangan publik menyangkut pentingnya kehadiran Pancasila, mulai menggema kembali. Sosialisasi “empat pilar” yang meliputi; Pancasila sebagai Ideologi dan Dasar Negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai Konstitusi Negara, Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai bentuk Negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan perilaku sosial masyarakat Indonesia, terus tumbuh dan berkembang yang dilakukan segenap komponen bangsa.

Kerinduan akan kehadiran kembali Pancasila, nampaknya dipicu oleh munculnya beragam realitas kehidupan kebangsaan yang semakin lama tidak lagi mencerminkan sebagai bangsa yang berfalsafah Pancasila. Betapa kedudukan Pancasila, yang sejatinya sebagai philosofische grondslag (dasar filosofis) atau weltanschauung (pandangan hidup) bagi bangsa Indonesia, yang didalamya mengajarkan tentang pentingnya nilai-nilai “Ketuhanan, Kemanusiaan, persatuan, Kerakyatan dan Kebijaksanaan, serta nilai-nilai keadilan”, nyaris tidak nampak sedikitpun dalam potret kehidupan kebangsaan mutakhir. (Sudarsa, 2012).

PENDIDIKAN SEBAGAI FONDASI PERADABAN BANGSA

Manusia lahir dengan potensi kodratnya berupa cipta, rasa dan karsa. Cipta adalah kemampuan mempersoalkan nilai kebenaran, rasa adalah kemampuan mempersoalkan nilai keindahan, dan karsa adalah kemampuan mempersoalkan nilai kebaikan. Ketiga potensi tersebut dibingkai dalam satu ikatan sistem yang selanjutnya dijadikan landasan dasar untuk mengkonstruksi bangunan filsafat kehidupan, menentukan pedoman hidup, dan mengatur sikap dan perilaku agar senantiasa terarah kepada pencapaian tujuan hidup yang hakiki.
Hubungan Pendidikan dengan peradaban (karakter) suatu bangsa dianalogikan ibarat hubungan fondasi dengan model atas konstruksi sebuah bangunan. Keduanya berhubungan secara kausalitas, fondasi akan menentukan model bangunan diatasnya. Pendidikan adalah fondasi bangunan dan karakter suatu bangsa adalah model bangunan yang merupakan hasil kongkrit dari pendidikan.

Secara historis maupun faktual hari ini, agungnya peradaban suatu bangsa, adalah potret keberhasilan pembentukan karakter yang dibentuk melalui proses panjang pendidikan, baik formil maupun nonformil. Begitu pula sebaliknya, hancurnya peradaban suatu bangsa adalah akibat kegagalan proses pendidikan karakter kepada masyarakatnya.

Pancasila adalah falsafah hidup (pandangan hidup) yang mencerminkan karakter dan jatidiri bangsa Indonesia, selayaknya menjadi landasan, pijakan, dan fondasi sistem pendidikan. Pancasila sebagai nilai-nilai luhur bangsa, seyogyanya menjadi rujukan utama dalam mendidik setiap individu anak bangsa. Ketika pancasila ditinggalkan dari ranah pendidikan, baik pendidikan keluarga, pendidikan lingkungan maupun pendidikan formal, maka pantaslah jika dikemudian hari bangsa Indonesia kehilangan jatidirinya, dan secara perlahan, jika dibiarkan, akan kehilangan keagungan peradabannya.

Tergerusnya nilai-nilai Ketuhanan, lunturnya perikemanusiaan yang adil dan beradab, lemahnya rasa persatuan dan suburnya permusuhan, lunturnya nilai-nilai musyawarah untuk mufakat, dan termarginalnya nilai keadilan, adalah fakta bahwa penanaman nilai-nilai Pancasila telah lama hilang dalam proses pendidikan anak-anak bangsa kita sendiri.
Dengan demikian, betapa penting memposisikan Pancasila sebagai landasan dan pijakan dalam proses pendidikan anak-anak bangsa. Pancasila jika sebenar-benarnya ditanamkan dalam proses pendidikan, maka seyogyanya bangsa ini menjadi bangsa yang memiliki peradaban yang agung, yakni peradaban agung manusia-manusia pancasila. (Sudarsa, 2012).

II. PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA

LATAR BELAKANG PEMBANGUNAN KARAKTER BANGSA


Pembukaan UUD 1945 mengamanatkan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa Indonesia yang harus menjiwai semua bidang pembangunan. Salah satu bidang pembangunan nasional yang sangat penting dan menjadi fondasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara adalah pembangunan karakter bangsa. Ada beberapa alasan mendasar yang melatari pentingnya pembangunan karakter bangsa, baik secara filosofis, ideologis, normatif, historis maupun sosiokultural.

Secara filosofis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah kebutuhan asasi dalam proses berbangsa karena hanya bangsa yang memiliki karakter dan jati diri yang kuat yang akan eksis. Secara ideologis, pembangunan karakter merupakan upaya mengejawantahkan ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara normatif, pembangunan karakter bangsa merupakan wujud nyata langkah mencapai tujuan negara, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; memajukan kesejahteraan umum; mencerdaskan kehidupan bangsa; ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Secara historis, pembangunan karakter bangsa merupakan sebuah dinamika inti proses kebangsaan yang terjadi tanpa henti dalam kurun sejarah, baik pada zaman penjajahan maupun pada zaman kemerdekaan. Secara sosiokultural, pembangunan karakter bangsa merupakan suatu keharusan dari suatu bangsa yang multikultural.

Pembangunan karakter bangsa merupakan gagasan besar yang dicetuskan para pendiri bangsa karena sebagai bangsa yang terdiri atas berbagai suku bangsa dengan nuansa kedaerahan yang kental, bangsa Indonesia membutuhkan kesamaan pandangan tentang budaya dan karakter yang holistik sebagai bangsa. Hal itu sangat penting karena menyangkut kesamaan pemahaman, pandangan, dan gerak langkah untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

Pembangunan nasional yang selama ini dilaksanakan telah menunjukkan kemajuan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, yang meliputi bidang sosial budaya dan kehidupan beragama, ekonomi, ilmu pengetahuan dan teknologi, politik, pertahanan dan keamanan, hukum dan aparatur, pembangunan wilayah dan tata ruang, penyediaan sarana dan prasarana, serta pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup. Namun, di samping banyak kemajuan yang telah dicapai ternyata masih banyak masalah dan tantangan yang belum sepenuhnya terselesaikan, termasuk kondisi karakter bangsa yang akhir-akhir ini mengalami pergeseran.

Pembangunan karakter bangsa yang sudah diupayakan dengan berbagai bentuk, hingga saat ini belum terlaksana dengan optimal. Hal itu tecermin dari kesenjangan sosial-ekonomi-politik yang masih besar, kerusakan lingkungan yang terjadi di berbagai di seluruh pelosok negeri, masih terjadinya ketidakadilan hukum, pergaulan bebas dan pornografi yang terjadi di kalangan remaja, kekerasan dan kerusuhan, korupsi yang dan merambah pada semua sektor kehidupan masyarakat. Saat ini banyak dijumpai tindakan anarkis, konflik sosial, penuturan bahasa yang buruk dan tidak santun, dan ketidaktaataan berlalu lintas. Masyarakat Indonesia yang terbiasa santun dalam berperilaku, melaksanakan musyawarah mufakat dalam menyelesaikan masalah, mempunyai kearifan lokal yang kaya dengan pluralitas, serta bersikap toleran dan gotong royong mulai cenderung berubah menjadi hegemoni kelompok-kelompok yang saling mengalahkan dan berperilaku tidak jujur. Semua itu menegaskan bahwa terjadi ketidakpastian jati diri dan karakter bangsa yang bermuara pada:
(1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa,
(2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila,
(3) bergesernya nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara,
(4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa,
(5) ancaman disintegrasi bangsa, dan
(6) melemahnya kemandirian bangsa.

Memperhatikan situasi dan kondisi karakter bangsa yang memprihatinkan tersebut, pemerintah mengambil inisiatif untuk memprioritaskan pembangunan karakter bangsa. Pembangunan karakter bangsa seharusnya menjadi arus utama pembangunan nasional. Artinya, setiap upaya pembangunan harus selalu dipikirkan keterkaitan dan dampaknya terhadap pengembangan karaker. Hal itu tecermin dari misi pembangunan nasional yang memosisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional, sebagaimana tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025 (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2007), yaitu terwujudnya karakter bangsa yang tangguh, kompetitif, berakhlak mulia, dan bermoral berdasarkan Pancasila, yang dicirikan dengan watak dan prilaku manusia dan masyarakat Indonesia yang beragam, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, bertoleran, bergotongroyong, berjiwa patriotik, berkembang dinamis, dan berorientasi ipteks.

Pembangunan karakter bangsa memiliki urgensi yang sangat luas dan bersifat multidimensional. Sangat luas karena terkait dengan pengembangan multiaspek potensi-potensi keunggulan bangsa dan bersifat multidimensional karena mencakup dimensi-dimensi kebangsaan yang hingga saat ini sedang dalam proses “menjadi”. Dalam hal ini dapat juga disebutkan bahwa:
1. karakter merupakan hal sangat esensial dalam berbangsa dan bernegara, hilangnya karakter akan menyebabkan hilangnya generasi penerus bangsa;
2. karakter berperan sebagai “kemudi” dan kekuatan sehingga bangsa ini tidak terombang-ambing;
3. karakter tidak datang dengan sendirinya, tetapi harus dibangun dan dibentuk untuk menjadi bangsa yang bermartabat.

Selanjutnya, pembangunan karakter bangsa akan mengerucut pada tiga tataran besar, yaitu
1. untuk menumbuhkan dan memperkuat jati diri bangsa,
2. untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
3. untuk membentuk manusia dan masyarakat Indonesia yang berakhlak mulia dan bangsa yang bermartabat.

Pembangunan karakter bangsa harus diaktualisasikan secara nyata dalam bentuk aksi nasional dalam rangka memantapkan landasan spiritual, moral, dan etika pembangunan bangsa sebagai upaya untuk menjaga jati diri bangsa dan memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa dalam naungan NKRI. Pembangunan karakter bangsa harus dilakukan melalui pendekatan sistematik dan integratif dengan melibatkan keluarga; satuan pendidikan; pemerintah; masyarakat termasuk teman sebaya, generasi muda, lanjut usia, media massa, pramuka, organisasi kemasyarakatan, organisasi politik, organisasi profesi, lembaga swadaya masyarakat; kelompok strategis seperti elite struktural, elite politik, wartawan, budayawan, agamawan, tokoh adat, serta tokoh masyarakat. Adapun strategi pembangunan karakter dapat dilakukan melalui sosialisasi, pendidikan, pemberdayaan, pembudayaan, dan kerja sama dengan memperhatikan kondisi lingkungan dan kebutuhan masyarakat serta pendekatan multidisiplin yang tidak menekankan pada indoktrinasi.

Dalam rangka meningkatkan pembangunan karakter yang berhasil guna, diperlukan upaya-upaya nyata antara lain penyusunan desain pembangunan karakter secara nasional, penyusunan rencana aksi nasional secara terpadu, pencanangan pembangunan karakter bangsa oleh Presiden Republik Indonesia sebagai tonggak dimulainya revitalisasi pembangunan karakter bangsa, serta implementasi pembangunan karakter oleh semua komponen bangsa dan aktualisasi nilai-nilai karakter secara nyata dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Editopan, 2012).

NILAI-NILAI PANCASILA SEBAGAI PEDOMAN PENDIDIKAN KARAKTER

Kerinduan akan hadirnya Pancasila merambah pada semua bidang kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini, hal ini sebagaimana telah disinggung diatas, diakibatkan oleh terjadinya demoralisasi yang sangat luar biasa di semua bidang kehidupan dan setiap lapisan masyarakat bangsa, yang sesungguhnya bertolakbelakang dengan nilai-nilai luhur Pancasila sebagai falsafah hidup bangsa.
Sejalan dengan kerinduan terhadap pancasila, dunia pendidikan hari ini pun sedang merindukan dan mengelu-elukan pendidikan karakter. Pemerintah melalui kementerian pendidikan nasional, sedang mencanangkan program pendidikan karakter secara besar-besaran. Pendidikan karakter dianggap sebagai solusi terbaik terhadap berbagai bencana moral yang melilit bangsa ini, yakni; hilangnya nilai-nilai Ketuhanan YME, lemahnya nilai-nilai peri-kemanusiaan yang adil dan beradab, lunturnya persatuan dan lemahnya prinsip musyawarah untuk mufakat, serta semakin terpinggirkannya nilai-nilai keadilan.

Pembentukan karakter yang diinginkan dalam proses pendidikan adalah terdiri dari tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang moral (moral Knowing), perasaan bermoral (moral feeling), dan perilaku bermoral (moral behavior).
Karakter yang baik terdiri dari mengetahui kebaikan (knowing the good), mencintai atau menginginkan kebaikan (loving or desiring the good) dan melakukan kebaikan (acting the good). Membentuk karakter adalah dengan menumbuhkan karakter yang merupakan the habits of mind, heart, and action yang antara ketiganya (pikiran, hati, dan perbuatan) adalah saling terkait. Pendidikan karakter adalah internalisasi nilai-nilai luhur budaya, agama dan nilai-nilai luhur lain yang telah dijadikan falsafah hidup suatu bangsa.

Pendidikan secara essensi berbicara tentang moral, moral adalah kebaikan, sedangkan pedoman moral bagi bangsa Indonesia adalah Pancasila. Pendidikan karakter ditujukan untuk membenahi moral masyarakat bangsa yang kian hari kian bobrok, demoralisasi terjadi dalam semua bidang kehidupan; politik, ekonomi, sosial, budaya sampai pada yang paling essensi yakni keroposnya ideologi dan falsafah bangsa.
Dengan demikian, pendidikan karakter yang sesungguhnya adalah pematrian (internalisasi) nilai-nilai luhur Pancasila pada pikiran (mind), nurani (heart), dan perilaku (behaviour) setiap individu anak bangsa. Sehingga wujud keberhasilan pendidikan karakter yang diwujudkan pemerintah adalah terlahirnya manusia-manusia Pancasila yang bermartabat yang akan membentuk keagungan peradaban bangsa Indonesia. (Sudarsa, 21012).

IV. PENUTUP

Dari paparan diatas, jelaslah bahwa Pancasila adalah wujud karakter bangsa Indonesia, bangsa yang berketuhanan YME, bangsa yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, bangsa yang mengedepankan persatuan, bangsa yang selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat, dan bangsa yang menjunjung tinggi keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya.
Pancasila harus kembali ditanamkan dalam jiwa-jiwa anak bangsa melalui proses pendidikan di semua lapisan masyarakat. Pancasila harus dihadirkan kembali dalam setiap nurani anak bangsa dan Pancasila harus tercermin dalam setiap perilaku anak bangsa. Pancasila adalah Indonesia dan Indonesia adalah Pancasila.

Generasi muda Indonesia adalah masa depan bangsa. Karena itu, setiap generasi muda bangsa Indonesia adalah aktor-aktor penting yang sangat diandalkan untuk mewujudkan cita-cita pencerahan kehidupan bangsa kita di masa depan. Para pendiri bangsa Indonesia telah meletakkan dasar-dasar dan tujuan kebangsaan sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD NRI Tahun 1945.
Republik ini didirikan dengan maksud untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan untuk ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Untuk mencapai cita-cita tersebut, bangsa kita telah pula bersepakat membangun kemerdekaan kebangsaan dalam susunan organisasi Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai Negara Hukum yang bersifat demokratis (democratische rechtsstaat) dan sebagai Negara Demokrasi konstitutional (constitutional democracy) berdasarkan Pancasila.

Kita semua memiliki tanggungjawab moral untuk membangun toleransi, menegakkan dan memperkokoh empat pilar kenegaraan dalam setiap diri anak bangsa. Terkait dengan hal ini maka setiap warga negara, penyelenggara negara dan lembaga kenegaraan serta lembaga kemasyarakatan lainnya sudah saatnya memahami serta mengimplementasikan empat pilar kenegaraan tersebut dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Sehingga Pancasila, Undang-undang dasar negara republik Indonesia tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta Bhineka Tunggal Ika semakin kokoh dan tidak mudah rapuh oleh berbagai tantangan dan ancaman yang menghadang bangsa Indonesia saat ini dan di masa yang akan datang.

Akhir kata, bangsa ini tidak mungkin mampu berdiri tegak diatas peradabannya yang agung, kecuali jika kita sebagai anak bangsa memiliki tanggungjawab moral untuk mematrikan nilai-nilai Pancasila pada diri kita, keluarga kita, masyarakat lingkungan kita, anak didik kita dan seluruh anak bangsa Indonesia. semoga keagungan peradaban manusia Pancasila akan segera terwujud, menuju bangsa yang adil, makmur dan sentosa. (Sudarsa, 2012).
Amiin.

Referensi:
Agun Gunanjar Sudarsa (2012), Pendidikan Pancasila Sebagai Pembentuk Karakter Bangsa, http://agun-gunandjarsudarsa.com/?p=135
Editopan, (2012). Latar Belakang Pembangunan Karakter Bangsa, http://editopan.guru-indonesia.net/artikel_detail-20601.html
Sardiman AM, (2010), “Revitalisasi Peran Pembelajaran IPS dalam Pembentukan Karakter Bangsa”, Cakrawala Pendidikan, edisi khusus 2010, Yogyakarta: ISPI bekerja sama dengan UNY
Soemarno Soedarsono, H. (2009). Karakter Mengantarkan Bangsa dari Gelab Menuju Terang. Jakarta: Kompas Gramedia.
Thanon Aria Dewangga (2012). Pendidikan Karakter Untuk Membangun Manusia Indonesia Yang Unggul, http://www.setkab.go.id/artikel-5257-.html

Suprapto Estede, Bojonegoro

Sebaik-baik Manusia .....

Sebaik-baik Manusia .....