Suprapto Estede

Suprapto Estede

Friday, November 22, 2013

Rejuvenasi Pancasila

Oleh: Suprapto Estede

Rejuvenasi Pancasila, yaitu semangat untuk mengembalikan Pancasila seperti apa yang dicita-citakan oleh para Founding Fathers, Pancasila tidak lagi dijadikan sebagai alat politik tetapi Pancasila ditujukan untuk mencapai masyarakat yang mempunyai budaya harmonis, bermartabat dan mempunyai visi yang luas.

Apakah "ideologi" semacam "Pancasila" masih relevan dalam masa globalisasi dan demokratisasi yang nyaris tanpa batas dewasa ini? Dalam hiruk-pikuk politik yang masih berlangsung hingga kini, pertanyaan seperti ini mungkin terlalu akademis untuk diajukan kepada para politisi; namun pertanyaan itu sering diajukan audiens kepada saya dalam berbagai diskusi dan seminar tentang posisi dan relevansi Pancasila dalam Indonesia yang lebih demokratis; Indonesia yang lebih bebas dalam berbagai segi kehidupan.



Pertanyaan tentang relevansi ideologi umumnya dalam dunia yang berubah cepat sebenarnya tidak terlalu baru. Sejak akhir 1960, mulai muncul kalangan yang mulai mempertanyakan relevansi ideologi baik dalam konteks negara-bangsa tertentu maupun dalam tataran internasional. Pemikir seperti Daniel Bell pada akhir 1060an telah berbicara tentang "the end of ideology"?. Tetapi perang dingin yang terus meningkat antara Blok Barat dengan ideologi kapitalisme dan Blok Timur dengan ideologi sosialisme-komunisme menunjukkan bahwa ideologi tetap relevan dalam kancah politik, ekonomi dan lain-lain.

Gelombang demokrasi (democratic wave) yang berlangsung sejak akhir 1980an, yang mengakibatkan runtuhnya rejim-rejim sosialis-komunis di Uni Soviet dan Eropa Timur, kembali membuat ideologi seolah-olah tidak relevan. Bahkan pemikir seperti Francis Fukuyama memandang perkembangan seperti itu sebagai "the end of history"?, masa "akhir sejarah"? di mana ideologi yang relevan adalah demokrasi Barat.

Gelombang demokratisasi yang terjadi berbarengan dengan meningkatnya globalisasi seakan-akan membuat ideologi semakin tidak relevan dalam dunia yang kian tanpa batas. Tetapi, seperti sudah banyak diketahui, globalisasi mengandung banyak ironi dan kontradiksi. Pada satu pihak, globalisasi mengakibatkan kebangkrutan banyak ideologi—baik universal maupun lokal—tetapi pada pihak lain, nasionalisme lokal, bahkan dalam bentuknya yang paling kasar (crude), semacam ethno-nationalism dan bahkan tribalism justru menunjukkan gejala peningkatan. Gejala terakhir ini sering disebut sebagai penyebab "Balkanisasi"?, yang terus mengancam integrasi negara-bangsa yang majemuk dari sudut etnis, sosio-kultural, dan agama seperti Indonesia.

Gelombang demokratisasi yang juga melanda Indonesia berikutan dengan krisis moneter, ekonomi dan politik sejak akhir 1997, juga membuat Pancasila sebagai basis ideologis, common platform dan identitas nasional bagi negara-bangsa Indonesia yang plural seolah semakin kehilangan relevansinya. Terdapat setidaknya tiga faktor yang membuat Pancasila semakin sulit dan marjinal dalam semua perkembangan yang terjadi.

Pertama, Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4. Kedua, liberalisasi politik dengan penghapusan ketentuan oleh Presiden BJ Habibie tentang Pancasila sebagai satu-satunya asas setiap organisasi. Penghapusan ini memberikan peluang bagi adopsi asas-asas ideologi lain, khususnya yang berbasiskan agama (religious-based ideology). Pancasila jadinya cenderung tidak lagi menjadi common platform dalam kehidupan politik. Ketiga, desentralisasi dan otonomisasi daerah yang sedikit banyak mendorong penguatan sentimen kedaerahan, yang jika tidak diantisasipasi bukan tidak mungkin bisa menumbuhkan sentimen local-nationalism yang dapat tumpang tindih dengan ethno-nationalism. Dalam proses ini, Pancasila baik sengaja maupun by implication kian kehilangan posisi sentralnya.

Kecenderungan bahwa posisi Pancasila semakin sulit, tentu cukup alarming, lampu kuning bagi masa depan Indonesia yang tetap terintegrasi. Pancasila—meski menghadapi ketiga masalah tadi—tetap merupakan kekuatan pemersatu (integrating force) yang relatif masih utuh sebagai common platform bagi negara-bangsa Indonesia. Kekuatan-kekuatan pemersatu lainnya, utamanya birokrasi kepemerintahan Indonesia, telah mengalami kemerosotan signifikan. Liberalisasi politik yang menghasilkan fragmentasi elit politik, menghalangi kemunculan kepemimpinan nasional pemersatu; corak kepemimpinan solidarity maker yang dapat mencegah disintegrasi tetap belum tampil.

Sudah tentu tidak ada yang salah dengan Pancasila as such. Yang keliru adalah membuat pemaknaan tunggal atas Pancasila yang kemudian dipaksakan sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaan. Karena itu tidak ada masalah dengan Pancasila itu sendiri, dan sebab itu, tidak pada tempatnya mengesampingkan Pancasila atas dasar perlakuan pemerintah Orde Baru.

Lebih jauh, Pancasila telah terbukti sebagai common platform ideologis negara-bangsa Indonesia yang paling feasible dan sebab itu lebih viable bagi kehidupan bangsa hari ini dan di masa datang. Sampai saat ini—dan juga di masa depan—belum terlihat alternatif common platform ideologis lain, yang tidak hanya akseptabel bagi bangsa, tetapi juga viable dalam perjalanan negara-bangsa Indonesia di masa-masa selanjutnya.

Karena posisi Pancasila yang krusial seperti itu, jelas nampak urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila, khususnya ketika bangsa sedang dalam proses memilih kepemimpinan nasional sekarang ini. Jika tidak, ada kemungkinan bangkitnya ideologi-ideologi lain, termasuk yang berbasiskan keagamaan. Gejala meningkatnya pencarian dan upaya-upaya untuk penerimaan religious-based ideologies ini merupakan salah satu tendensi yang terlihat jelas di Indonesia pada masa pasca Soeharto.

Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagai public discourse, wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukan reassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.

Rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila memerlukan keberanian moral kepemimpinan nasional. Tiga kepemimpinan nasional pasca Soeharto, sejak dari Presiden Habibie, Presiden Abdurrahman Wahid, sampai Presiden Megawati Soekarnoputri gagal membawa Pancasila ke dalam wacana dan kesadaran publik. Gejala ini juga terlihat dalam kepemimpinan nasional sekarang: baik Presiden maupun Wapres jarang sekali berbicara tentang pentingnya Pancasila dan urgensi untuk melakukan rejuvenasi Pancasila dalam berbagai aspek kehidupan bangsa. Ada kesan traumatik untuk kembali membicarakan Pancasila. Sudah waktunya kepemimpinan nasional sekarang—Presiden, Wapres dan pejabat-pejabat publik lainnya—memberikan perhatian khusus kepada ideologi pemersatu ini, jika mereka betul-betul peduli pada identitas nasional dan integrasi negara-bangsa Indonesia.

Mengembalikan Kemurnian Pancasila

Pancasila telah dinobatkan sebagai dasar negara Indonesia, ideologi pemersatu bangsa yang dijadikan landasan dalam kehidupan bernegara seperti yang diimpikan para pendiri bangsa (founding fathers) Indonesia. Namun realitas saat ini sama sekali tidak sesuai dengan harapan mulia itu.

Pancasila seakan sekadar menjadi simbol belaka tanpa pemahaman dari masyarakat. Mereka tidak menyadari Pancasila sebagai dasar negara mereka. Di saat problem menimpa, justru Pancasila bukan yang pertama kali dijadikan solusi.

Bukan bermaksud menyepelekan landasan dan ideologi lain, semisal agama. Kita semua tentu sadar betul bahwa Pancasila sangat memperhatikan urusan agama. Hal ini dibuktikan dengan menempatkan permasalahan ketuhanan pada sila pertama. Yang perlu disayangkan adalah nasib Pancasila di tengah kemajemukan Indonesia sekarang ini akibat gempuran globalisasi yang tiada henti.

Negara kita memiliki beragam suku dan ideologi. Kemajemukan ini disadari betul oleh para pendiri bangsa kita. Maka pada tanggal 1 Juni 1945, saat persidangan Badan Penyidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), Soekarno untuk pertama kali memperkenalkan konsep Pancasila. Hal ini didasari semangat untuk mempersatukan Indonesia yang luas dan majemuk. Setelah melalui perdebatan di kalangan tokoh pergerakan nasional, akhirnya Pancasila diterima sebagai dasar negara. Ia menjadi pandangan hidup Indonesia yang bersifat universal bagi Indonesia. Hal ini dapat dilihat dari aspek ketuhanan, kemanusiaan, keindonesiaan, demokrasi dan keadilan yang tertuang dalam kelima sila.

Sepanjang perjalanannya, Pancasila tidak terlepas dari berbagai penyimpangan politik penguasa. Jika Presiden Soekarno dengan Dekrit Presidennya menjadikan dirinya sebagai kekuasaan otoriter yang bertentangan dengan Pancasila, Presiden Soeharto justru telah menjadikannya sebagai alat kekuasaan politik (political tool) semata. Melakukan penyelewengan tafsir melalui penataran dan pendidikan di lembaga-lembaga pendidikan, membungkam kedaulatan rakyat atas nama pembangunan nasional.

Saat itu pula, banyak terjadi tindakan-tindakan yang sama sekali berlawanan dengan Pancasila. Korupsi, kolusi, nepotisme dan penyalahgunaan hukum adalah secuil dari dosa yang diperbuat penguasa Orde Baru. Akibat ulah Orde Baru, Pancasila yang seyogianya dapat kembali menjadi perekat komponen bangsa, telah diidentikkan dengan kekuasaan Orde Baru itu sendiri. Seiring dengan lengsernya Orde Baru, munculah sikap dan pandangan baru di kalangan warga negara Indonesia terhadap dasar negara. Mereka menilai Pancasila sudah tidak bersahabat dengan rakyat. Sedangkan demokrasi yang sesungguhnya identik dengan keadilan, persamaan, penghormatan terhadap HAM dan taat hukum.

Sebagai sebuah dasar negara dan pandangan hidup yang telah tercemar, Pancasila memerlukan revitalisasi makna bagi masa depan Indonesia. Azyumardi Azra menegaskan, harus dilakukan rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila. Hal ini dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila sebagai public discource (wacana publik). Melalui langkah awal ini sekaligus dapat dilakukan penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini untuk mendapatkan pemaknaan baru.

Sudah semestinya Pancasila ditempatkan secara terhormat dalam khazanah kehidupan berbangsa dan bernegara. Posisinya sebagai panduan nilai dan pedoman bersama (common platform) untuk mewujudkan kesejahteraan hidup bangsa. (Sumber: M Amsar Roedi FT IAIN Walisongo).***

[Suprapto Estede : Materi ini disiapkan untuk Testimoni tentang Eksistensi dan Rejuvenasi Pancasila di Era Reformasi pada Acara Final Lomba Cerdas Cermat Wawasan Kebangsaan Tahun 2012, diselenggarakan oleh Badan Kesbang Linmas Kabupaten Bojonegoro pada Tanggal 11 Juli 2012 di Pendopo Malowopati Pemkab. Bojonegoro]

Sebaik-baik Manusia .....

Sebaik-baik Manusia .....