Suprapto Estede

Suprapto Estede

Monday, November 2, 2015

Sistem Pemerintahan Negara Berdasarkan UUD 1945

Yang Berintikan 7 Kunci Pokok, Membatasi Kekuasaan Presiden

{Hari Minggu kemarin (1 Nopember 2015), ketika sedang membongkar dokumen-dokumen lama di rumah, tak sengaja saya menemukan beberapa arsip lama, antara lain berupa naskah pidato saya ketika mengikuti Penataran P4 Tingkat Nasional Tahun 1986 dan berhasil meraih predikat sebagai peserta dengan hasil terbaik, dan mendapatkan apresiasi langsung dari Kepala BP-7 Pusat ketika itu, yaitu Bapak Sarwo Edhie Wibowo (mantan Komandan RPKAD [kini Kopassus] saat penumpasan G-30-S/PKI). Ketika saya berpidato, waktu itu tentunya masih berada dalam era Orde Baru dan naskah UUD 1945 belum mengalami banyak perubahan (amandemen). Karena naskah pidato saya itu sudah lama dan khawatir rusak atau hilang, maka saya putuskan untuk "menyimpan"-nya di blog saya ini. Semoga bermanfaat juga bagi siapa saja yang memerlukannya.- Suprapto Estede}

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh;

Bapak Manggala (BP-7 Pusat) dan Bapak-bapak Penatar yang kami hormati;
Para Ibu dan Bapak Petatar (Peserta Penataran) yang kami hormati;


Perkenankanlah terlebih dahulu kami memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih lagi Maha Bijaksana, yang senantiasa melimpahkan rahmat-NYA yang tiada terhingga kepada kita, sejak kita masih berada didalam kandungan ibunda tercinta, sampai hari ini, detik ini, pada kesempatan yang berbahagia ini, dengan jiwa dan raga yang sehat wal’afiyat, kita dapat berkumpul pada acara yang sangat penting ini, dalam rangka Penataran P-4 Tingkat Nasional Pola 120 Jam yang diselenggarakan di Universitas Brawijaya Malang berdasarkan Keputusan Kepala BP-7 Pusat Nomor: KEP-135/BP-7/XI/1986 tertanggal 26 Nopember 1986.

Dan tak lupa, kami sampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kesempatan berharga yang diberikan kepada kami untuk sekaligus juga melatih diri berbicara di hadapan para Ibu dan Bapak, yang kami yakin bahwa hal ini tentu akan sangat bermanfaat bagi pengembangan kemampuan diri kami dalam rangka ikut serta menyukseskan pembangunan nasional guna mengisi kemerdekaan Republik tercinta ini, menuju terwujudnya cita-cita Proklamasi.

Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang kami hormati;

Satu peristiwa besar yang akan selalu terpateri di dalam hati sanubari setiap manusia Indonesia telah terjadi pada hari Jum’at, tanggal 17 Agustus 1945. Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia pada hari itu menyatakan kemerdekaannya, yakni kemerdekaan yang berhasil dicapai melalui perjuangan panjang yang tak kenal lelah serta pengorbanan tiada tara dari para pahlawan kusuma bangsa dan seluruh rakyat Indonesia.

Sebagai suatu negara yang merdeka, bersatu dan berdaulat, Republik Indonesia telah mempunyai sebuah Undang-Undang Dasar, yang disahkan dan ditetapkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya pada tanggal 18 Agustus 1945. Undang-Undang Dasar inilah yang sejak Dekrit Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Perang RI tanggal 5 Juli 1959 kita kenal dengan sebutan “Undang-Undang Dasar 1945” atau biasa disingkat “UUD 1945”. Dan apabila disebut UUD 1945, maka yang dimaksudkan tak lain adalah keseluruhan naskah yang terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh yang terdiri dari 16 bab, 37 pasal, 4 pasal Aturan Peralihan dan 2 ayat Aturan Tambahan, serta Penjelasan, sebagaimana termaktub dalam Berita Republik Indonesia Tahun II No. 7, tertanggal 15 Februari 1946.

Para Ibu dan Bapak yang budiman;

Republik Indonesia yang baru lahir ketika itu tentunya tidak secara tiba-tiba sekaligus telah memiliki lembaga tertinggi negara dan lembaga-lembaga tinggi negara sebagaimana tersebut didalam UUD 1945, sebab untuk membentuk lembaga-lembaga itu mesti harus melalui prosedur konstitusional yang memerlukan waktu. Oleh karena itulah maka didalam UUD 1945, yang rancangannya telah disiapkan sejak beberapa bulan sebelumnya oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), dimuat pula beberapa pasal Aturan Peralihan dan beberapa ayat Aturan Tambahan yang dimaksudkan untuk dapat mengatasi terjadinya kekosongan (vacuum) tersebut, sementara waktu.

Khusus yang berhubungan dengan kekuasaan Presiden, didalam pasal IV Aturan Peralihannya ditentukan, bahwa sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh Presiden dengan bantuan sebuah Komite Nasional.

Dari ketentuan tersebut dapat kita ketahui, betapa besar kekuasaan yang berada di tangan Presiden ketika itu. Sebab, disamping tetap memegang kekuasaannya sendiri sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden juga menjalankan kekuasaan Dewan Perwakilan Rakyat (legislatif) dan kekuasaan Dewan Pertimbangan Agung (konsultatif), bahkan juga kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai pelaku sepenuhnya kedaulatan rakyat.

Menurut ayat (1) Aturan Tambahan UUD 1945, sebenarnya Presiden diberi tugas untuk mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UUD 1945 itu didalam jangka waktu enam bulan sesudah berakhirnya apa yang disebut sebagai “Peperangan Asia Timur Raya”, namun ternyata keadaannya kemudian berubah dengan dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden No. X tanggal 16 Oktober 1945 (yang mestinya jangka waktu enam bulan tersebut belum habis).

Seperti kita ketahui, bahwa dikeluarkannya Maklumat Wakil Presiden itu disamping dimaksudkan sebagai salah satu upaya untuk melawan propaganda Belanda yang demikian getolnya menggembar-gemborkan kepada dunia luar, bahwa Republik Indonesia Proklamasi adalah bentukan fasis Jepang, hadiah dari Jepang, dan seterusnya, adalah juga terutama bermaksud untuk menghentikan kekuasaan luar biasa dari Presiden tersebut, dengan menarik kekuasaan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang semula dipegang oleh Presiden, dan menyerahkan kekuasaan itu kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP).

Demikianlah seterusnya hingga terbentuknya Republik Indonesia Serikat pada tanggal 27 Desember 1949, ketikamana UUD 1945 tidak lagi berlaku untuk seluruh wilayah negara federal, melainkan hanya berlaku untuk negara bagian Republik Indonesia yang ber-ibu kota Yogyakarta. Sedangkan yang berlaku sebagai UUD ketika itu (untuk RIS) adalah Konstitusi Republik Indonesia Serikat.

Bapak Manggala, Bapak Penatar, dan rekan-rekan Petatar yang berbahagia;

Setelah melalui masa-masa berlakunya KRIS dan UUDS 1950 selama lebih kurang 9 tahun 6 bulan, maka pada tanggal 5 Juli 1959 keluarlah Dekrit Presiden/Pangti Angkatan Perang RI yang berisi : Pembubaran Konstituante, Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya UUDS 1950, serta Pembentukan MPRS dan DPAS dalam tempo yang sesingkat-singkatnya.

Dengan adanya Dekrit Presiden tersebut, maka UUD 1945 memasuki kurun waktu berlakunya yang kedua. Dan sebagai pelaksanaan butir lainnya dari diktum Dekrit itu, Presiden kemudian membentuk MPRS dengan Penetapan Presiden (Penpres) No. 2 Tahun 1959, dan membentuk Dewan Pertimbangan Agung Sementara (DPAS) dengan Penpres No. 3 Tahun 1959.

Disamping itu, sehubungan dengan kekuasaan Presiden, ada beberapa hal yang perlu pula kita catat, yaitu bahwa:
- Pidato Presiden (Amanat Presiden) tanggal 17 Agustus 1949 yang berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” (Rediscovery of Our Revolution) dan yang kemudian terkenal sebagai “Manifesto Politik Republik Indonesia” dijadikan sebagai garis-garis besar daripada haluan negara (yang bersifat permanen) dengan Ketetapan MPRS No. I/MPRS/1960.
- Bung Karno (yang ketika itu juga diberi gelar sebagai Pemimpin Besar Revolusi Indonesia) diangkat menjadi Presiden RI seumur hidup, dengan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/ 1963.
- Pemerintah tidak mengajukan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum berlakunya tahun anggaran yang bersangkutan. Bahkan pada tahun 1960, karena DPR tidak dapat menyetujui RAPBN yang diajukan oleh Pemerintah, maka Presiden waktu itu membubarkan DPR.
- Presiden mengangkat dirinya sebagai Ketua DPA. Juga Presiden kemudian mengangkat para Pimpinan lembaga tertinggi dan lembaga-lembaga tinggi negara sebagai Menteri, yang notabene adalah Pembantu Presiden.

Dari beberapa contoh kasus tersebut, kiranya cukuplah bagi kita untuk mengetahui, betapa besar dan luasnya kekuasaan Presiden ketika itu (kita sebut masa Orde Lama). Sehingga timbul satu pertanyaan: Benarkah bahwa sistem pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945 memberikan kekuasaan yang demikian besar kepada Presiden? Dan bila tidak, lantas bagaimana dengan kasus-kasus tersebut diatas?

Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang kami hormati;

Sebagaimana kita ketahui, bahwa setelah terjadinya usaha coup (kudeta) oleh G-30-S/PKI yang menimbulkan tragedi nasional pada tahun 1965, dan yang berhasil digagalkan dalam satu hari (atas ridlo Tuhan Yang Maha Esa), maka muncullah kemudian Surat Perintah Sebelas Maret 1966 (Supersemar) yang menjadi sumber hukum bagi lahirnya Orde Baru, dengan tekad: melaksanakan UUD 1945 (dan Pancasila) secara murni dan konsekuen, akan mempertahankan (tidak akan mengubah) Pancasila dan UUD 1945, serta akan melaksanakan pembangunan nasional berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mengisi kemerdekaan ini.

Dengan munculnya tekad Orde Baru tersebut, dan sehubungan dengan pertanyaan mengenai kekuasaan Presiden tersebut tadi, marilah kita perhatikan bagaimana satu persatu dari 7 (tujuh) kunci pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 mengatur mengenai hal ini.

Para Ibu dan Bapak yang mulia;

Kami mulai dari kunci pokok yang pertama, adalah bahwa “Indonesia ialah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat).” Jadi negara Indonesia tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (Machtsstaat).

Ini mengandung arti, bahwa negara (termasuk didalamnya Pemerintah dan lembaga-lembaga negara yang lain) dalam melaksanakan tindakan apapun harus dilandasi oleh hukum, atau harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Tekanan pada hukum (recht) di sini dihadapkan sebagai lawan dari kekuasaan (macht). Prinsip dari sistem ini, disamping tampak dalam rumusan pasal-pasal UUD 1945, jelas sejalan dan merupakan pelaksanaan dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Sesuai dengan semangat dan ketegasan Pembukaan UUD 1945, jelas bahwa negara hukum yang dimaksud bukanlah sekedar sebagai negara hukum dalam arti formal, lebih-lebih bukanlah negara hanya sebagai “polisi lalu lintas” atau “penjaga malam” yang menjaga jangan sampai terjadi pelanggaran dan menindak para pelanggar hukum. Pengertian negara hukum menurut UUD 1945 adalah negara hukum dalam arti luas, yaitu negara hukum dalam arti materiil. Negara bukan saja “melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh (tanah) tumpah darah Indonesia”, tetapi juga harus “memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Dengan landasan dan semangat negara hukum dalam arti materiil itu, setiap tindakan negara haruslah mempertimbangkan dua kepentingan ataupun landasan, ialah kegunaannya (doelmatigheid) dan landasan hukumnya (rechtmatigheid). Harus selalu diusahakan agar setiap tindakan negara (Pemerintah) itu selalu memenuhi kedua kepentingan atau landasan tersebut. Adalah suatu seni tersendiri untuk mengambil keputusan yang tepat apabila ada pertentangan kepentingan, atau salah satu kepentingan atau landasan itu tidak dipenuhi.

Kunci pokok yang kedua adalah “Sistem Konstitusional”. Artinya, pemerintahan berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar), tidak bersifat absolutisme (kekuasaan yang tidak terbatas).

Sistem ini memberikan ketegasan bahwa cara pengendalian Pemerintah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan konstitusi, yang dengan sendirinya juga oleh ketentuan-ketentuan dan hukum lain yang merupakan produk konstitusional, seperti garis-garis besar daripada haluan negara, undang-undang, dan sebagainya. Dengan demikian, sistem ini memperkuat dan menegaskan lagi sistem negara hukum seperti yang dikemukakan tadi (di atas).

Dengan landasan kedua sistem itu (sistem negara hukum dan sistem konstitusional) diciptakanlah sistem mekanisme hubungan tugas dan hukum antar lembaga-lembaga negara, yang dapat menjamin terlaksananya sistem itu sendiri dan dengan sendirinya juga dapat memperlancar pelaksanaan pencapaian dan perwujudan cita-cita nasional.

Dari kedua kunci tersebut jelaslah bahwa kekuasaan Presiden itu dibatasi oleh hukum dan konstitusi. Kasus-kasus yang terjadi pada masa Orde Lama itu tadi jelas merupakan penyimpangan dari ketentuan-ketentuan konstitusi. Manifesto Politik (Manipol) yang dijadikan sebagai GBHN yang permanen misalnya, adalah bertentangan dengan pasal 3 UUD 1945 dan Penjelasannya.

Bapak Manggala dan Penatar yang kami hormati;

Kemudian kunci pokok yang ketiga adalah “Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Die gesamte Staatgewalt liegt allein bei der Majelis.”

Kiranya telah kita ketahui, bahwa kedaulatan rakyat dipegang oleh suatu badan yang bernama MPR, sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia (Vertretungsorgan des Willens des Staatvolkes). Majelis ini menetapkan UUD dan menetapkan Garis-garis besar daripada haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (Wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedangkan Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang telah diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggung jawab kepada Majelis. Ia adalah “mandataris”dari Majelis, ia berkewajiban menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak “neben”, akan tetapi “untergeordnet” kepada Majelis. Demikian diuraikan dalam Penjelasan UUD 1945.

Di sinilah terjelmanya pokok pikiran kedaulatan rakyat yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945. Sebagai pemegang kekuasaan yang tertinggi, MPR mempunyai tugas dan wewenang yang sangat menentukan jalannya negara dan bangsa. Dengan kewenangan yang demikian itu, maka kekuasaan MPR luas sekali. Ini adalah logis, karena MPR adalah pemegang kedaulatan rakyat. Sebagai badan yang merupakan penjelmaan dari seluruh rakyat, maka segala keputusan yang diambil haruslah mencerminkan keinginan dan aspirasi seluruh rakyat.

Kunci pokok yang keempat adalah bahwa “Presiden ialah penyelenggara pemerintah Negara yang tertinggi di bawah Majelis.”

Penjelasan UUD 1945 menyatakan: “Di bawah Majelis Permusyawaratan Rakyat, Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam menjalankan pemerintahan negara, kekuasaan dan tanggung jawab adalah di tangan Presiden (concentration of power and responsibility upon the President).”

Sistem ini logis, karena Presiden diangkat oleh Majelis. Presiden bukan saja diangkat oleh Majelis, tetapi ia dipercaya dan diberi tugas untuk melaksanakan kebijaksanaan rakyat yang berupa garis-garis besar haluan negara ataupun ketetapan-ketetapan lainnya. Oleh karena itu Presiden adalah Mandataris Majelis. Presiden-lah yang memegang tanggung jawab atas jalannya pemerintahan yang dipercayakan kepadanya dan mempertanggungjawabkannya kepada Majelis, bukan kepada badan lain.

Dari kunci ketiga dan keempat tersebut kiranya cukup terang bahwa kasus pengangkatan Pimpinan MPR menjadi Menteri pada masa Orde Lama, adalah bertentangan dengan UUD 1945.

Ibu-ibu dan Bapak-bapak yang berbahagia;

Kunci pokok berikutnya (kelima) adalah “Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”

Juga dijelaskan dalam Penjelasan UUD 1945, bahwa: “Di samping Presiden adalah Dewan Perwakilan Rakyat. Presiden harus mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat untuk membentuk Undang-Undang (Gesetzgebung) dan untuk menetapkan anggaran pendapatan dan belanja negara (Staatsbegrooting). Oleh karena itu, Presiden harus bekerja bersama-sama dengan Dewan, akan tetapi Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan, artinya, kedudukan Presiden tidak tergantung dari Dewan.”

Menurut sistem pemerintahan kita, Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR. Tetapi Presiden bekerjasama dengan DPR. Dalam hal pembuatan Undang-Undang dan menetapkan APBN Presiden harus mendapatkan persetujuan DPR. Presiden tidak dapat membubarkan DPR seperti pada sistem Parlementer. Namun DPR pun tidak dapat menjatuhkan Presiden, karena Presiden tidak bertanggung jawab kepada DPR.

Dengan demikian, apa yang pernah terjadi pada tahun 1960, ketikamana Presiden membubarkan DPR adalah benar-benar merupakan suatu penyimpangan dari UUD 1945. Juga Presiden pada masa Orde Lama telah mengeluarkan produk-produk legislatif yang mestinya berbentuk Undang-Undang (artinya dengan persetujuan DPR) akan tetapi dibuat dalam bentuk Penetapan Presiden (tanpa persetujuan DPR). Ini jelas bertentangan dengan pasal 5 ayat (1) jo. Pasal 20 ayat (1) UUD 1945.

Selanjutnya, kunci pokok yang keenam adalah bahwa “Menteri Negara ialah pembantu Presiden, Menteri Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.”

Penjelasan UUD 1945 menyatakan: “Presiden mengangkat dan memberhentikan Menteri-menteri Negara. Menteri-menteri itu tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat. Kedudukannya tidak tergantung dari Dewan, akan tetapi tergantung dari Presiden. Mereka ialah pembantu Presiden.”

Pengangkatan dan pemberhentian Menteri-menteri Negara adalah sepenuhnya wewenang Presiden. Menteri-menteri tersebut tidak bertanggung jawab kepada DPR melainkan kepada Presiden. Oleh karenanya status mereka adalah sebagai pembantu Presiden. Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa Menteri-menteri Negara itu adalah pegawai tinggi biasa, oleh karena dengan petunjuk dan persetujuan Presiden, Menteri-menteri inilah yang pada kenyataannya menjalankan kekuasaan pemerintahan di bidangnya masing-masing. Inilah yang disebut sistem Kabinet Presidensial.

Para Ibu dan Bapak yang kami hormati;

Kunci pokok yang terakhir atau yang ke tujuh adalah “Kekuasaan Kepala Negara tidak tak terbatas.”

Lagi Penjelasan UUD 1945 menyatakan: “Meskipun Kepala Negara tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat, ia bukan “diktator”, artinya kekuasaannya tidak tak terbatas.Di atas telah ditegaskan bahwa ia bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Kecuali itu ia harus memperhatikan sungguh-sungguh suara Dewan Perwakilan Rakyat.”

Kunci sistem ini ditekankan lagi disamping sudah tegas dalam kunci sistem yang kedua (sistem Pemerintahan Konstitusional), dengan menunjukkan fungsi/peranan DPR dan fungsi/peranan para Menteri sebagai pembantu Presiden, yang dapat mencegah kemungkinan kekuasaan pemerintahan di tangan Presiden ke arah kekuasaan mutlak (absolutisme).

Sesuai dengan sistem ini, maka kedudukan dan peranan DPR adalah kuat. Bukan saja ia tidak dapat dibubarkan oleh Presiden dan juga bukan saja ia memegang wewenang memberikan persetujuan kepada Presiden dalam membentuk Undang-Undang dan menetapkan APBN, tetapi DPR adalah juga badan yang memegang pengawasan terhadap pemerintah (dalam hal ini Presiden) yang efektif. DPR (yang anggota-anggotanya adalah juga anggota MPR) mempunyai wewenang memanggil MPR untuk mengadakan persidangan istimewa untuk meminta pertanggungjawaban Presiden, apabila DPR menganggap Presiden sungguh melanggar haluan negara yang ditetapkan oleh UUD atau MPR.

Jadi sesuai dengan sistem ini, maka kebijaksanaan atau tindakan Presiden dibatasi pula oleh adanya pengawasan yang efektif oleh DPR. Sistem atau mekanisme ini merupakan sarana preventif untuk mencegah pemerosotan sistem konstitusional menjadi absolutisme.

Demikian juga sistem “kekuasaan Presiden tidak tak terbatas” itu, ditunjukkan dengan adanya fungsi dan peranan para Menteri Negara sebagai pembantu Presiden yang cukup besar pula. Tetapi ini tidak berarti bahwa dengan demikian Presiden hanya didikte saja oleh Menteri-menterinya. Dengan sistem ini yang ingin ditonjolkan ialah bahwa Menteri-menteri itu adalah juga pemimpin-pemimpin negara yang membantu Presiden agar dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan itu tetap dipegang teguh sistem pemerintahan sesuai dengan UUD, sehingga dapat dicegah, agar jalannya pemerintahan negara yang terletak pada satu orang, ialah Presiden, tidak menjurus ke absolutisme.

Bapak Manggala, Bapak Penatar, dan rekan-rekan Petatar yang kami hormati;

Dari uraian kami tadi jelaslah kiranya, bagaimana sistem pemerintahan negara berdasarkan UUD 1945 yang berintikan tujuh kunci pokok, membatasi kekuasaan Presiden.

Dengan demikian, patutlah bila kita berharap agar UUD 1945 yang telah memiliki dan memberikan landasan ideal, landasan struktural yang kuat dan landasan operasional yang jelas itu dapat betul-betul kita hayati maknanya, kita amalkan secara murni dan konsekuen, serta kita jaga kelestariannya. Kita yakin, bahwa tekad yang demikian inilah yang akan membawa kita kepada tercapainya cita-cita nasional, yakni terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 dibawah lindungan dan ridlo-NYA.

Akhirnya, semoga Allah Yang Maha Tahu senantiasa melimpahkan hidayah dan taufiq-NYA kepada kita semua, bangsa Indonesia. Aamiin.
Terima kasih.
Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Malang, 18 Desember 1986
Suprapto Estede

Sebaik-baik Manusia .....

Sebaik-baik Manusia .....