Suprapto Estede

Suprapto Estede

Thursday, May 8, 2008

Mal-Administrasi dalam Kepegawaian

Oleh: SUPRAPTO ESTEDE

MAL-PRAKTEK dalam administrasi publik (mal-administrasi) yang merupakan praktek administrasi yang menyimpang dan justru menjauhkan dari pencapaian tujuan administrasi, adalah suatu praktek yang melanggar etika administrasi. Etika administrasi merupakan seperangkat nilai yang dapat digunakan sebagai pedoman, referensi, acuan, dan penuntun apa yang harus dilakukan administrator publik (birokrat) dalam menjalankan tugasnya, serta sekaligus dapat digunakan sebagai standar penilaian apakah sikap, tindakan dan perilaku birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya itu dapat dinilai baik atau buruk, terpuji atau tercela.

***
Seperangkat nilai dalam etika birokrasi itu meliputi nilai-nilai: efisiensi, membedakan milik pribadi dengan milik kantor, accountable, impersonal, merytal system, responsible, dan responsiveness (Widodo, 2001: 252). Empat nilai yang disebut terakhir amat berhubungan dengan masalah personalia atau kepegawaian.


Dengan nilai impersonal, seorang pemimpin atau pemegang kewenangan dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sesuai ketentuan yang berlaku, harus lebih menonjolkan unsur rasio daripada unsur perasaan. Dengan pendekatan ini siapa pun yang bersalah harus diberikan sanksi (punishment) secara adil dan siapa pun pegawai yang berprestasi selayaknya diberikan hadiah atau imbalan (rewards).

Merytal system merupakan suatu sistem penerimaan (recruitment), pemutasian, maupun promosi pegawai yang tidak didasarkan pada hubungan kerabat dan sobat (famili, alumni, etnis, golongan, dll), akan tetapi didasarkan pada pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), kemampuan (capable) dan pengalaman (experience) yang dimiliki, sehingga pegawai yang bersangkutan akan menjadi cakap dan profesional.

Nilai responsibel (administrative responsibility) berarti memiliki rasa tanggung jawab (sense of responsibility) atau memiliki kemampuan dan kecakapan (capable to do) yang memadai dalam menjalankan tugas dan tanggung jawab. Pertanggung-jawaban ini penting, karena masalah-masalah publik yang dihadapi oleh administrator publik semakin kompleks dan memerlukan ketrampilan teknis yang tinggi. Adapun nilai responsivitas terkait dengan daya tanggap yang tinggi dan cepat menanggapi apa yang menjadi keluhan, permasalahan, kebutuhan dan aspirasi masyarakat.

Nilai-nilai etika birokrasi tersebut harus betul-betul menjadi suatu norma yang diikuti dan dipatuhi oleh birokrasi publik. Penyimpangan terhadap etika administrasi tersebut adalah tindakan mal-administrasi, yang dapat berkembang menjadi issue publik karena langsung bersentuhan dengan masyarakat. Artinya, masyarakatlah yang akan secara langsung merasakan dampak negatif dari mal-administrasi itu.

***
Dalam era reformasi sekarang ini, meski banyak contoh-contoh mal-praktek (mal-administrasi) pada tubuh birokrasi yang telah diblejeti satu persatu oleh masyarakat, terutama mal-praktek dalam bentuk korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), namun dalam kenyataannya berbagai bentuk mal-administrasi masih saja terjadi, termasuk yang berkait dengan urusan kepegawaian, mulai dari meloloskan calon pegawai “titipan” meskipun secara obyektif nilai testnya tidak memenuhi syarat, hingga perlakuan-perlakuan yang tidak adil terhadap pegawai.

Mal-praktek dalam administrasi dapat terjadi pada proses kenaikan pangkat. Misalnya, karir pegawai yang berprestasi dihambat, sementara pegawai lainnya yang pandai “melayani” kemauan sang “bos” memperoleh perlakuan istimewa dengan penerapan jurus “bajing loncat” (loncat sana, loncat sini) sehingga dalam waktu singkat pangkatnya dapat melesat bertingkat-tingkat (ala Naga Bonar), termasuk pendongkrakan pangkat lebih dari satu tingkat secara “sim salabim” untuk penyesuaian eselon.

Contoh lainnya adalah penempatan (placement) pegawai yang tidak pada tempat yang tepat atau tidak the right man on the right place. Akibatnya, banyak pegawai berilmu (berprestasi) yang tidak keduman jabatan, sementara yang kebagian jabatan justru tidak memiliki ilmu yang relevan dengan jabatannya. Dalam hal ini pemberian jabatan kepada pegawai dengan alasan sekedar “memberi kesempatan” tidaklah tepat karena jabatan bukanlah mainan untuk ajang coba-coba.

Tindakan birokrasi publik yang menyimpang dari etika administrasi juga dapat berupa kebijakan penerimaan, mutasi dan promosi yang tidak didasarkan pada merytal system, melainkan pada perasaan suka tidak suka (like and dislike), atau lebih parah lagi bahkan tanpa aturan yang jelas alias “semau gue”, semata-mata atas alasan kepentingan membangun sebuah jaringan untuk kelancaran income resource (sumber pendapatan), atau sekedar untuk power demonstration (demonstrasi kekuasaan). Dampaknya, pegawai akan kehilangan inisiatif dan kreatifitas kerja karena selalu dihantui oleh bayang-bayang monster mutasi yang bisa “menendang” setiap saat.

***
Tentunya, untuk mencegah timbulnya atau semakin parahnya mal-administrasi amat diperlukan adanya pengawasan yang intensif dan efektif, terutama kontrol sosial, sehingga tidak bertambah banyak lagi korban-korban mal-praktek yang berjatuhan dan menciptakan ketidaktenangan hidup warga masyarakat. Dan oleh karena perilaku administrasi publik itu juga tergantung kepada pribadi pelaku (manusia)-nya, maka kontrol internal dari hati nurani dalam bentuk keimanan dan ketaqwaan amatlah penting.**

Suprapto Estede,
adalah dosen STIE Cendekia Bojonegoro.

Sumber: Radar Bojonegoro, Selasa 11 Juni 2002, Halaman 22.

Sebaik-baik Manusia .....

Sebaik-baik Manusia .....