Suprapto Estede

Suprapto Estede

Thursday, May 8, 2008

Gema 10 Desember: Hak-hak Azasi Buruh Adalah Hak-hak Azasi Manusia

Oleh: Suprapto Estede

TANGGAl 10 Desember telah dikenal oleh masyarakat internasional sebagai “hari hak-hak azasi manusia” (Human Rights Day), karena pada tanggal dan bulan itu, 32 tahun yang lalu, Sidang Umum PBB menerima baik pernyataan tentang hak-hak manusia untuk seluruh dunia, yang diberi nama “Universal Declaration of Human Rights”.

Sebagaimana telah kita ketahui, mula pengaturan hak-hak rakyat, hak-hak manusia ini terdapat dalam apa yang disebut sebagai “Piagam Magna Charta” di Inggris tahun 1215, yang kemudian pada tahun 1687 ditegaskan lagi dalam “The Declaration of Rights”. Langkah ini kemudian diikuti oleh Amerika Serikat yang pada tahun 1776, atas jasa seorang seniman yang kemudian menjadi Presiden AS, Thomas Jefferson, telah merumuskan dan menetapkan hak-hak dasar manusia itu untuk pertamakalinya dengan resmi dalam “Declaration of Independence”, yang kemudian dijadikan sebagai dasar pokok Konstitusi AS.



Juga Perancis, sebagai hasil dari puncak Revolusinya pada tahun 1789 telah berhasil menetapkan hak-hak azasi manusia itu dalam “Declaration des Droits de l’Homme et du Citoyen” yang dua tahun kemudian (1791) dimasukkan pula dalam konstitusinya.

Demikian halnya Indonesia, dalam Pembukaan UUD 1945 antara lain telah mencantumkan dengan tegas azas kemanusiaan yang adil dan beradab serta azas keadilan sosial bagi seluruh rakyat, sebagai nilai-nilai dasar dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Sebagai bangsa Indonesia, kita tentunya merasa bangga dengan kenyataan bahwa pencantuman azas-azas tersebut dalam falsafah negara dan pandangan hidup bangsa kita itu secara historis mendahului Deklarasi Umum PBB tentang hak-hak azasi manusia pada tahun 1948. Akan tetapi sayangnya, kebanggaan itu secuilpun tiada hubungannya dengan pelaksanaan azas-azas itu sendiri. Kasus-kasus seperti penyerobotan tanah rakyat kecil, tindakan sewenang-wenang terhadap buruh, dan lain-lain, yang jelas bertentangan dengan azas-azas yang kita junjung tinggi itu dalam kenyataan sehari-hari masih banyak terjadi. Semuanya itu kiranya menyadarkan kita bahwa pelaksanaan azas-azas tersebut dalam masyarakat masih jauh dari semestinya.

Perburuhan

Diantara kasus-kasus itu yang menonjol dan banyak dibicarakan akhir-akhir ini adalah mengenai masalah perburuhan. Artinya, banyak pelanggaran yang terjadi di bidang ini, terutama terhadap hak-hak azasi dan kesejahteraan kaum buruh sebagai pihak yang lemah.

Kasus-kasus seperti pembayaran upah yang tidak memadai, pelanggaran terhadap jaminan kesehatan dan keselamatan kerja, tindakan main pecat dan main skors tanpa melalui prosedur yang wajar, keharusan bekerja 7 jam setiap hari secara terus menerus tanpa diberi waktu istirahat, tidak diberi kesempatan untuk menjalankan ibadah shalat, terutama shalat Jum’at, juga karyawan wanita tidak diberi cuti haid, dan seterusnya, masih sering kita dengar, bahkan pernah pula ada perusahaan yang menyalahgunakan nama buruh untuk minta kredit kepada bank!

Dalam hal upah itu misalnya, yang menjadi persoalan umum adalah mengenai jumlah upah yang tambah hari semakin tidak seimbang dengan beaya untuk hidup yang layak bagi buruh. Itu saja masih sering di”korting” untuk ini dan itu, sehingga jaminan kehidupan buruh beserta keluarganya semakin tidak menentu. Mengenai hal ini Artikel 23 ayat (3) dari “Universal Declaration of Human Rights” menetapkan: “Everyone who works has the right to just and favourable remuneration insuring for himself and his family an existence worthy of human dignity, and supplemented, if necessary, by other means of social protection”.

Juga dalam hal keselamatan kerja, maka jumlah kecelakaan kerja pada setiap tahunnya menunjukkan grafik yang selalu naik. Jika selama tahun 1978, menurut keterangan Menteri Nakertrans Prof. Harun Zain (Kompas, 26 Januari 1979), telah terjadi 564 kali kecelakaan kerja dengan korban manusia sebanyak 603 orang, 61 di antaranya tewas, 197 luka berat dan 345 luka ringan, maka pada tahun 1979 di Kalimantan Timur saja, menurut catatan Kanwil Tenaga Kerja setempat yang dikutip oleh Bambang WN (Suara Karya, 15 Nopember 1980), terjadi 1.084 peristiwa kecelakaan kerja yang mengakibatkan 125 buruh tewas dan 300 lainnya luka-luka. Sedangkan data untuk seluruh Indonesia dalam tahun 1979/1980 menurut angka yang diungkapkan oleh Dirjen Bina Lindung, adalah 1.413 kecelakaan kerja dan mengakibatkan 162 buruh tewas, 399 luka berat dan 887 menderita luka ringan.

Data di atas menunjukkan, betapa nasib kaum buruh perlu segera mendapatkan perhatian yang serius, khususnya dari pemerintah maupun pengusaha, terutama terhadap nasib para buruh harian dan borongan yang dikenal paling lemah dan posisinya sangat rawan, sebab setiap waktu bila tenaganya tidak diperlukan lagi oleh perusahaan, mereka bisa dikeluarkan dari pekerjaan tanpa melalui prosedur hukum serta tanpa pemberian tunjangan apapun.

Kita semua telah pula mengetahui, bahwa pengusaha sebagai orang yang memiliki kemampuan mengelola perusahaan di satu pihak dan buruh sebagai tenaga pelaksananya di pihak yang lain, adalah merupakan dua faktor yang sama pentingnya dalam proses produksi. Keduanya saling membutuhkan dan saling tergantung. Oleh karena itu wajarlah kiranya bila buruh perlu dipikirkan dan diusahakan peningkatan kesejahteraannya sejalan dengan kemajuan perusahaan, baik dalam bentuk peningkatan jaminan keselamatan dan kesehatan kerja maupun jaminan-jaminan sosial lainnya. Sebaliknya, penggunaan hak milik seseorang yang dalam usahanya bersifat pemerasan terhadap orang lain, jelas tidak dibenarkan!

Peradilan

Bahwa baik Pembukaan UUD 1945 (inklusif dasar falsafah negara), batang tubuh UUD 1945, maupun Penjelasannya, pada pokoknya adalah berintisarikan kepada azas keadilan. Sudah barang tentu adalah keadilan yang berlaku dalam segala bidang kehidupan manusia, baik material maupun spiritual.

Dan disamping itu, yang dimaksud keadilan di sini adalah keadilan yang dapat diterima oleh semua golongan atau semua pihak. Jadi bukan keadilan yang semata-mata dilihat dari kacamata golongan penguasa saja tanpa memperhatikan rasa keadilan bagi mereka yang dikuasai, serta sebaliknya. Dan bukan pula keadilan yang semata-mata dirumuskan dari sudut pandangan golongan ekonomi kuat tanpa melihat pandangan golongan ekonomi lemah. Atau juga bukan semata-mata keadilan menurut kaum pengusaha saja, tetapi juga harus memperhatikan rasa keadilan menurut kaum buruh.

Dalam hubungannya dengan ini maka ternyata bahwa keadilan yang berlaku di tengah-tengah masyarakat kita, khususnya dalam hubungan buruh-pengusaha ini kita masih harus mengakui adanya timbangan yang berat sebelah, sehingga sistem peradilan bagi perselisihan perburuhan seperti yang telah ada selama ini belum dapat diterima oleh kaum buruh. Mengapa?

Kalau kita melihat komposisi P4, maka meskipun didalamnya terdapat unsur buruh di samping unsur pengusaha (majikan) dan unsur pemerintah, akan tetapi dalam praktek peradilan selama ini wakil buruh itu belum dapat berperan sebagaimana mestinya. Wakil buruh dalam P4 yang ditunjuk oleh FBSI itu dalam berbagai kesempatan belum bisa menghayati kepentingan kaum yang diwakilinya. Dalam kenyataannya, para wakil buruh itu tidak diambil dari buruh itu sendiri, melainkan justru majikan yang ditugaskan untuk membela buruh!

Lalu, bagaimana dengan pegawai negeri dan karyawan Perusahaan Negara/Daerah? Yah, ternyata nasib mereka pun tidak lebih baik daripada nasib kaum buruh (swasta). Bagi karyawan, maka UU Perburuhan dan UU Perselisihan Perburuhan jelas tidak berlaku. Demikian pula perangkat seperti P4D dan P4P tidak berlaku bagi mereka, karena lembaga-lembaga ini hanya untuk buruh swasta. Sehingga, apabila terjadi perselisihan antara karyawan dengan pimpinan, maka belum ada peradilan yang menampungnya. Nasib karyawan itu hanyalah bergantung kepada kebijaksanaan pimpinan langsung atau yang lebih tinggi! Dan dalam hal inilah KORPRI dituntut untuk lebih berperan dalam memperjuangkan nasib anak buahnya yang bekerja di Perusahaan-perusahaan Negara/Daerah itu.

Itulah di antara sebabnya mengapa kaum buruh/karyawan masih saja berupaya mencari tempat mengadu untuk dapat menyelesaikan keresahannya. Memang mereka dapat saja mengadukan masalahnya ke Pengadilan Negeri, tetapi gugatan mereka itu ada kemungkinan besar akan ditolak karena berbau perselisihan perburuhan.

Jika demikian keadaannya, lalu kemana lagi mesti mengadu? Karena semua upaya yang telah ditempuh menemui jalan buntu sedangkan mereka pun sebagai rakyat merasa mempunyai wakil yang duduk di DPR, maka tak heranlah jika mereka lalu ramai-ramai datang ke DPR, sekalipun DPR tidak termasuk unsur dalam HPP. Dan kedatangan para buruh/karyawan itupun lalu disambut oleh Pimpinan DPR dengan pernyataan yang akan membuka lebar-lebar pintu DPR bagi siapa saja. Juga ketua DPR Daryatmo pernah menyatakan, bahwa jika tidak ada sesuatu ganjelan, tentunya rakyat dari segala pelosok daerah tidak akan “ngoyo” datang ke Jakarta untuk menyampaikan laporan atau keluhan langsung ke DPR (Kompas, 28 April 1979). Sementara pihak FBSI dan Departemen Tenaga Kerja “menyesalkan” langkah kaum buruh/karyawan yang langsung mengadukan nasibnya ke DPR itu. Akan tetapi, ketua umum FBSI Agus Sudono dan ketua DPP FBSI yang membidangi Pembelaan, Penelitian dan Pengembangan, Benyamin Messakh, secara jujur pun mengakui kekurangan-kekurangan yang ada dalam tubuh organisasinya, yang menyebabkan para buruh itu mengambil jalan sendiri (Swadesi, 6 Juli 1980).

Bukan Budak

Nah, demikianlah kira-kira secara singkat perihal kaum buruh dengan keresahannya, meskipun penulis sadari uraian ini masih jauh dari memadai untuk menjangkau segala permasalahan yang dihadapi kaum buruh.

Uraian ini sama sekali tidak bermaksud membesar-besarkan masalah perselisihan buruh-pengusaha, meskipun dengan ungkapannya dapat menunjukkan belum tegaknya kehidupan menurut tata hukum dan tata keadilan di negeri tercinta ini.

Pengungkapan pelanggaran-pelanggaran terhadap hak-hak azasi manusia itu jelas bernilai positif. Sebab, kalau kita betul-betul hendak melaksanakan azas kemanusiaan yang adil dan beradab dan azas keadilan sosial bagi seluruh rakyat (tanpa mengesampingkan azas-azas lainnya) maka justru kita harus berani menghadapi kenyataan yang ada dalam masyarakat kita. Dengan menemukan dan berusaha memecahkan problema-problema dari kenyataan itu, maka kita akan dapat maju dalam pemahaman dan penghayatan terhadap azas-azas yang menjadi nilai-nilai dasar kita dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat tersebut.

Akhirnya, segala usaha untuk mengangkat harkat dan martabat manusia, khususnya yang disebut buruh, adalah terutama termasuk di dalamnya usaha-usaha untuk selalu menghormati segala hak azasinya. Buruh bukanlah budak, dan bukan pula mesin. Hak-hak azasi buruh adalah hak-hak azasi manusia...!

Sumber: Kedaulatan Rakyat, Kamis Legi, 11 Desember 1980 (3 Sapar 1913), Halaman 4-5.

Sebaik-baik Manusia .....

Sebaik-baik Manusia .....